Siaran Pers

Dampak Hutan Sosial Bagi Masyarakat

15 April 2019, dibaca 6412 kali.

Nomor: SP. 140/HUMAS/PP/HMS.3/4/2019

Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin, 15 April 2019. Perhutanan sosial berpengaruh secara signifikan pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Demikian kesimpulan penelitian tiga unversitas (UGM, Unila, Atmajaya) pada praktik perhutanan sosial di Lampung dan Yogyakarta yang dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul "Dampak Perhutanan Sosial, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan" yang ditulis oleh Profesor Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Penelitian yang dilakukan terhadap 4 kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) yaitu: HKm Mandiri di Kalibiru DIY, HKm Tani Manunggal di Playen Wonosari DIY, HKm Beringin Jaya, Tanggamus Lampung, dan HKm Sinar Mulya, Tanggamus Lampung ini memperlihatkan bahwa secara ekonomi pemberian izin HKm telah membuat petani hutan terlepas dari jeratan kemiskinan yang ditunjukan dengan meningkatnya produksi, baik hasil hutan maupun jasa lingkungan, meningkatnya pendapatan petani serta meningkatnya penyerapan tenaga kerja di lokasi izin HKm tersebut.

Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) pada peluncuran buku tersebut di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta berujar bahwa Pemerintah mendorong hutan sosial dengan pemberian izin perhutanan sosial yang dilanjutkan dengan mendorong pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) agar usaha perhutanan sosial memiliki akses modal dan akses pasar.

"Intinya bisnis plan ini mampu meyakinkan pemberi modal untuk mau memberikan modal juga memastikan adanya akses pasar untuk produk dari hutan sosial, ini yg akan membuat usaha hutan sosial bisa berkelanjutan", ujar Bambang.

Bambang juga menambahkan bahwa berdasarkan data sampai tanggal 1 April 2019, distribusi akses legal hutan sosial telah mencapai seluas 2.613.408 hektar yang dikelola oleh 5.572 kelompok yang melibatkan 656.569 kepala keluarga. Luasan tersebut termasuk penetapan areal hutan Adat seluas 32.791 hektar untuk 49 komunitas/lembaga adat.

Profesor Mudrajad sendiri berujar bahwa perhutanan sosial yang berbentuk HKm sangat memerlukan adanya kemitraan agar semakin memperbesar pendapatan dari usaha perhutanan sosial.

"Analisis regresi membuktikan bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap pendapatan. Jenis kemitraan yang telah dilakukan berupa penyuluhan, pelatihan, membeli produk, memberi bantuan modal, dan pendampingan," ujar Profesor Mudrajad.

Profesor Mudrajad menambahkan bahwa kendala yang banyak dihadapi kelompok HKm adalah kombinasi dari terbatasnya akses bahan baku, akses modal, akses pasar, dan peralatan yang belum modern.

Paparan isi buku oleh Profesor Mudrajad ditanggapi oleh tim pembahas yang terdiri dari tiga pakar dan praktisi, yaitu: Suwito dari Kemitraan, Nur Amalia dari Pokja Perhutanan Sosial, Hamzah dari Paguyuban Tani Sunda Hejo.

Suwito dari Kemitraan menanggapi bahwa isi buku ini memberikan bukti bahwa argumen para aktivis LSM kepada Pemerintah sejak dahulu bahwa masyarakat mampu mengelola hutan adalah benar. 

"Jangan lagi ada yang ragu jika masyarakat mampu mengelola hutan," ujar Suwito.

Kemudian Nur Amalia dari Pokja Perhutanan Sosial menanggapi bahwa HKm merupakan salah satu solusi mengatasi keterlanjuran fenomena masyarakat masuk kedalam kawasan hutan, yang menyebabkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah.

"Kita perlu melihat eskalasi konflik ini, yaitu dilihat sebelum penerbitan SK HKm dibandingkan dengan setelah penerbitan SK HKm, ini akan menarik, namun belum terlihat di penelitian ini," ujar Nur.

Sementara itu Hamzah dari Paguyuban Tani Sunda Hejo mengamini bahwa perhutanan sosial sangat bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun awalnya tidak tahu sama sekali tentang perhutanan sosial, namun setelah adanya sosialisasi dari pemerintah dirinya berkeyakinan bahwa program perhutanan sosial ini merupakan solusi yang akan membantu petani sekitar hutan untuk mendapatkan kenyamanan dalam berusaha karena adanya legitimasi dari pemerintah dalam memanfaatkan lahan hutan secara legal. (*)

Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK
Djati Witjaksono Hadi