Siaran Pers

Indonesia Menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim

23 April 2016, dibaca 107615 kali.

Nomor : S. 302 /HUMAS/PP/HMS.3/4/2016

*171 Negara Menandatangani Perjanjian Paris, 13 Negara Deposit Instrumen Ratifikasi

23 April 2016 - Mewakili Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016. Acara ini dibuka oleh Sekjen PBB, Ban Ki Moon, yang menyelenggarakan upacara tersebut sesuai mandat dari Konferensi Para Pihak ke-21 Konvensi-Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21) bulan Desember 2015. Memenuhi permintaan Sekretariat PBB, Menteri LHK bertindak sebagai Co-Chair sesi terakhir penyampaian national statement. 

Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian Paris didukung 195 negara, berbeda dengan periode pra-2015, yang ditandai absennya negara-negara kunci seperti AS dan Australia.

Perjanjian Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca. Diharapkan batas tersebut dapat terpenuhi dalam waktu tidak terlalu lama, melihat tingginya tingkat partisipasi dalam Upacara Penandatanganan Perjanjian, yaitu 171 negara menandatangani dan 13 negara (terutama small island developing countries) langsung mendepositkan instrumen ratifikasi. Negara-negara dengan tingkat emisi tinggi seperti AS, Cina, UE, Rusia, Jepang, dan India juga menandatangani Perjanjian Paris. 

Dalam pidato tersebut ditegaskan bahwa Indonesia dapat bergabung menjadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Hal ini atas pertimbangan pentingnya subyek lingkungan sesuai UUD 1945 untuk perlunya menyediakan lingkungan yang baik bagi warga negara, serta pentingnya dukungan dari DPR RI. 

Indonesia menyadari bahwa kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim, terutama karena kawasan hutan yang luasnya mencapai 65% dari luas wilayah negara Indonesia 187 juta km2 yang juga merupakan tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati. 

Dalam pidato yang mendapat sambutan sangat positif tersebut, diungkapkan langkah-langkah konsisten yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka pengendalian perubahan iklim. Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016, sebagai langkah cepat Indonesia merespon pasca kebakaran lahan dan hutan 2015. Indonesia juga melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut. Presiden Indonesia baru-baru ini telah menyatakan moratorium perizinan sawit dan tambang. Pemerintah daerah telah merespon positif arahan Presiden ini, yakni Gubernur Aceh memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Ekosistem Leuser, dan Gubernur Kalimantan Timur memberlakukan moratorium tambang batu bara. 

Indonesia telah melibatkan segenap komponen masyarakat (swasta, kampus, pemerintah daerah, dan berbagai kelompok masyarakat) untuk berpartisipasi dalam aksi terkait iklim, mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Termasuk melalui program nasional yang disebut PROKLIM (program kampung iklim).

Pada akhir pidato, Menteri LHK menyatakan: