SIARAN PERS
Nomor : SP. 398 /HUMAS/PP/HMS.3/10/2019
Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 9 Oktober 2019. Membangun tata hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan wujud kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan Program Perhutanan Sosial. Terutama kaitannya dengan kejelasan peran dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab serta kerjasama dan integrasi program dengan berbagai pihak yaitu lembaga pemerintah pusat, daerah maupun para pihak lainnya seperti LSM, Perguruan Tinggi, Swasta serta masyarakat sebagai pelaku utama.
Pemberian izin Perhutanan Sosial, selain diharapkan untuk menjaga kelestarian hutan juga dapat menjadikan masyarakat yang mandiri secara ekonomi. "Sistem bisnis Perhutanan Sosial bersifat terpadu, dari subsistem hulu (on-farm), industry pasar (off-farm) dan susbsistem pendukungnya seperti kelembagaan, modal, teknologi, inovasi dan sebagainya yang keseluruhannya memerlukan dukungan dari berbagai pihak terkait yang di pusat maupun daerah", jelas Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Soepriyanto pada acara Kolaborasi Kreasi (Ko-Kreasi) Tata Hubungan Kerja Perhutanan Sosial yang dilakukan pertama kali di Padang, Sumatera Barat, Rabu (09/10/2019).
Dalam rangka menjaga kelestarian hutan tentu diperlukan integrasi dan sinkronisasi dengan KPH selaku pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Dengan demikian peran KPH selaku pemangku dan pengelola kawasan sangat penting dalam hal memfasilitasi pelaksanaan kegiatan. Sedangkan untuk menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi dibutuhkan sistem bisnis perhutanan sosial mulai dari hulu, hilir dan pasarnya. "Bisnis yang dilakukan masyarakat ini yang akan kita dorong agar terjadi sentra-sentra ekonomi berbasis desa", tambah Bambang.
Pemerintah melalui KLHK telah menetapkan target areal pengelolaan hutan oleh masyarakat seluas 12,7 juta hektar melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Sampai saat ini areal pengelolaan hutan oleh masyarakat telah mencapai sekitar 3,41 juta hektar, dengan jumlah SK kurang lebih 6.503 unit bagi sekitar 755 ribu Kepala Keluarga. Rincian per skema, yaitu : Hutan Desa (HD) seluas 1,43 juta hektar, Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 692, 69 ribu hektar, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 347,10 ribu hektar, Kulin KK seluas 336,86 ribu hektar, IPHPS seluas 25,97 ribu hektar dan Hutan Adat (yang terdiri dari Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat) seluas 578,62 ribu hektar.
Sumatera Barat salah satu contoh provinsi yang telah memberikan dukungan penuh
penuh terhadap Perhutanan Sosial. Sumatera Barat telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial. Dikatakan Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, pemerintah provinsi berterima kasih kepada Kementerian, karena telah memberikan solusi kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan berupa perhutanan sosial. "Dulu kita tidak boleh mengambil madu, rotan dan buah-buahan di kawasan hutan, sekarang kita telah diperbolehkan mengambil manfaat dengan tidak merusak hutan".
Pemerintah telah memberikan kemudahan, dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk menjaga hutan. "Mudah-mudahan perhutanan sosial ini menjadi solusi untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat", tutur Nasrul Abit.
Agar dukungan tersebut dapat dilaksanakan oleh semua pihak perlu dirumuskan dan dibangun suatu pedoman tata hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selain Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Barat, turut hadir dalam acara ini Bupati Kabupaten Solok Selatan, Sekretaris Direktur Jenderal lingkup KLHK, Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala Dinas LHK seluruh Indonesia, Kepala Biro Perencanaan dari Kementerian/Lembaga terkait, dan Kepala UPT lingkup KLHK se Provinsi Sumatera Barat. (*)
Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,